Rabu, 05 September 2012

Cerita Pohon Apel


Konon di suatu desa tinggallah seorang anak laki-laki yang suka sekali bermain dengan pohon apel. Setiap hari, si anak bermain, memanjat dahan-dahannya, dan memakan buahnya sambil bersantai di cabangnya. Si anak begitu akrab dengan si pohon apel sampai-sampai tak ada hari tanpa bermain dengan si pohon apel. Si anak laki-laki sangat menyayangi si pohon apel, demikian juga sebaliknya, pohon apel ini pun begitu menyayangi si anak laki-laki tersebut.

Waktu pun berlalu dan tahun demi tahun berganti. Tiba-tiba suatu hari, si anak laki-laki tak muncul lagi untuk mengajak si pohon apel bermain. Setiap hari, pohon apel berharap, semoga suatu saat nanti ia dapat melihat dan mengajak si anak laki-laki yang disayanginya itu bermain. Hingga akhirnya, anak tersebut melintas di hadapan si pohon apel. Dengan cepat si pohon apel memanggilnya.

“Nak, ayo sinim main lagi denganku. Aku rindu sekali bermain-main denganmu. Buahku sangat manis. Cobalah.” Kata pohon apel.

Namun dengan segera si anak menjawab, “Tidak, aku sudah besar, aku tidak mau lagi bermain dengan pohon apel.”

Pohon apel yang begitu sedih kemudian bertanya, “Lalu apa yang kau inginkan?”

“Aku mau mobil-mobilan seperti temanku yang lain,” jawab si anak laki-laki.

Pohon apel pun menjawab, “Sayang sekali anakku, aku tidak memiliki uang. Tapi jika kau mau, kau boleh memetik semua buahku untuk kau jual ke pasar, dan uangnya bisa kau belikan mobil-mobilan.”

Mendengan jawaban si pohon apel, anak itu pun bersemangat. Ia memetik habis seluruh buah apel yang ada di pohon dan menjualnya ke pasar. Setelah itu uang yang diterimanya ia belikan mobil-mobilan sesuai keinginannya. Setelah itu si anak menghilang lagi. Ia asyik dengan mainan barunya dan tinggalah si pohon apel sendiri merindukannya.

Lama si pohon apel memendam rindu untuk si anak, sampai pada suatu hari, si anak muncul lagi di depannya. Lalu dengan ceria si pohon apel menyapa, “Mari, anakku, kita bermain-main lagi seperti dulu. Aku rindu sekali denganmu.”

Namun si anak menjawab, “Tidak ah. Aku sudah dewasa. Aku malu bermain dengan pohon apel sepertimu. Yang kuinginkan sekarang adalah membangun sebuah rumah untuk keluargaku.”

“Sayang sekali, Anakku. Aku tidak memiliki uang untuk membuatkan rumah untukmu. Tetapi jika kau mau, kau boleh memangkas semua rantingku untuk kau jadikan rumah.”

Sekali lagi, si anak pun melakukannya. Ia memangkas habis semua ranting pohon dan membangun sebuah rumah untuk keluarganya. Kemudian anak laki-laki itu pun kembali asyik menghabiskan waktu bersama keluarga barunya dan meninggalkan si pohon apel sendiri bersama kerinduannya.

Waktu pun berlalu dan pada suatu hari, si anak laki-laki melintas di depan pohon apel. Dengan cepat pohon apel menyapanya, “Nak, mari bermain lagi denganku. Aku sangat merindukanmu.”

Sang anak pun menjawab, “Tidak. Aku tidak memiliki waktu untuk bermain denganmu lagi. Yang kuinginkan sekarang adalah membeli sebuah perahu kecil agar aku bisa pergi ke tengah danau dan memancing bersama anakku.”

Lagi-lagi pohon apel menjawab, “Sayang sekali, Anakku. Aku tidak mempunyai uang. Tapi jika kau mau, kau boleh memotong batangku untuk kau jadikan perahu agar kau bisa memancing bersama anakmu di danau sana.”

Sayangnya, si anak pun melakukannya. Ia memangkas habis seluruh batang pohon apel dan menjadikannya perahu. Setelah itu, ia melupakan pohon apel dan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang memancing bersama anaknya.

Tahun demi tahun pun berlalu, hingga pada suatu ketika, si anak datang lagi. Namun kali ini pohon apel menyapanya berbeda, “Anakku, kini aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya tinggal akarku saja yang tersisa.”

Si anak pun menjawab, “Aku juga sudah tu, Pohon Apel. Aku sudah tidak menginginkan apa pun. Yang kuinginkan hanyalah tempat istirahat yang nyaman untuk menikmati masa tuaku.”

Lalu pohon apel pun menyahut, “Tahukah kamu, Anakku, bahwa akar pohon apel begitu nyaman untuk kau jadikan sandaran kepala?”

Si anak memikirkannya sejenak lalu mencobanya. Ia beristirahat, menyandarkan kepalanya di atas akar pohon apel tadi sambil dipeluk hangat pohon apel yang meneteskan air mata kerinduan untuknya. 

******

Sering kita memeras semua milik orang tua kita hanya untuk kesenangan semata, kemudian meninggalkan mereka begitu saja. Kita tak segan memetik seluruh buahnya, memotong smeua rantingnya, bahkan memangkas habis batangnya, semua untuk memenuhi keinginan kita. Sering kali, setelah itu kita asyik dengan hal baru yang kita miliki. Mainan, profesi, pacar, gaya hidup, dan lain-lain. Padahal yang orang tua inginkan sederhana. Mereka rindu “bermain” lagi dengan kita – anak yang dulu terlelap hangat dalam pelukan mereka.     
                            
Kita berwisata di tempat-tempat yang menyenangkan, tetapi orang tua kita hanya duduk sendirian di rumah. Kita keluar masuk café atau restoran dan menyantap makanan lezat bersama teman atau pacar, tetapi orang tua kita hanya makan seadanya di rumah. Mereka adalah pohon apel yang kini tinggal akarnya. Apakah kita masih tak mau menemaninya setelah buah, ranting, dan batangnya kita ambil?



(repost from best seller book “The Record Breaker”)

Sherin ngetik cerita ini sambil nangis-nangis loh. ._.

0 bacotan:

Posting Komentar